Sejarah persaudaraan “Setia-Hati” disingkat SH berawal pada tahun 1903 yaitu dengan didirikanya persaudaraan SEDULUR TUNGGAL KECER dikampung Tambak Gringsing-Surabaya oleh almarhum Bpk Ki Ngabehi Soerodwirjo dengan nama kecilnya Masdan. Saat itu nama permainan seni pencak silatnya adalah JOYO GENDILO dan hanya dengan 8 murid didahului oleh 2 saudara yaitu Noto/ Gunadi (adik kandung Ki Ngabehi Soerodwirjo) dan Kenevel Belanda. Pada tahun 1915 nama permainan seni pencak silatnya berubah menjadi JOYO GENDILO CIPTO MULYO. Organisasi itu mendapat hati di kalangan masyarakat pada tahun 1917 setelah melakukan demonstrasi pencak silat terbuka di alun2 kota Madiun dan menjadi populer di masyarakat karena memiliki gerakan unik penuh seni dan bertenaga.
![]() |
Setia Hati |
Pada tahun 1917 Joyo Gendilo Cipto Mulyo bergati nama dengan Setia Hati. Pendiri perguruan tersebut meninggal pada tanggal 10 November 1944 dalam usia 75 tahun, dengan meninggalkan wasiat supaya rumah dan pekarangannya diwakafkan kepada Setia Hati dan selama bu Ngabei Soero Diwiryo masih hidup tetap menetap di rumah tersebut dengan menikmati pensiun dari perguruan tersebut.
Baca sejarah kedua pencak silat :
Pada tahun 1922 Ki Hadjar Harjo Utomo yg merupakan Murid terbaik dari Ki Ngabehi Suro Diwirjo atas restu Beliau, Dia mendirikan Persaudaraan Sport Club. Inti dari Sport Club ini juga untuk menghimpun kekuatan dari pada Rakyat Indonesia untuk menentang Penjajah yang pada saat itu dijajah oleh Belanda. Kegiatan yang mulia ini, tercium oleh Pemerintah Kolonialisme. Belanda tidak ingin ada Organisasi Kemasyarakatan yang akan membuat kegiatan Imperialismenya terganggu. Oleh karena itu Belanda menggunakan cara De Vide et Impera. Yakni menghasut Rakyat sekitar bahwa Sport Club yg didirikan Ki Hajar Hardjo Utomo itu adalah SH Merah, sedang kata Merah pada saat itu sangatlah identik dengan istilah Komunis. Apalagi itu di Kota Madiun.
Tak pelak Rakyatpun sangat terganggu, mereka terhasut dan sangat membenci Sport Club tersebut. Oleh karena itu Ki Hadjar Hardjo Utomo meminta arahan dari gurunya Ki Ngabehi Suro Diwiryo, atas restu beliau . Dia mengubah nama Persaudaraan Sport Club menjadi Persaudaraan Setia Hati Terate. Agar persepsi Masyarakat berubah, dan kembali ikut berjuang untuk merebut Kemerdekaan.di akhir hayatnya Ki Ngabei dimakamkan di Desa Winongo Madiun dengan batu nisan garnit dengan dikelilingi bunga melati. Dan oleh berbagai kalangan makam Ki Ngabei dijadikan pusat dari perguruan Setia Hati. Dan pada Tahun 1922 Murid Ki Ngabei Soero Diwiryo mendirikan Setia Hati Teratai sebagai respon untuk mengembangkan Pencak silat dengan ideologi ke SH an.
Dalam sejarah berikutnya Belanda berhasil menangkap Ki Hadjar Hardjo Utomo, dan membuangnya di Digul.Meskipun dibuang ke Digul, perlawanan anak anak SH kepada Belanda tidak pernah padam. Pasca wafatnya Eyang Suro kegiatan SH (Asli) mengalami kemunduran. Hingga pada akhirnya RDH Suwarno atas niat baik menghidupkan kembali Organisasi SH, supaya tidak lenyap di Negeri sendiri. Beliau memberi tambahan kata Tunas Muda di depan kata SH, yang bermakna SH telah Bersinar Kembali. Sedangkan tambahan Winongo adalah Nama Desa di Kota Madiun tempat berdirinya daripada SH Winongo tersebut.
Pertentangan ideologi memulai memuncak ketika pendiri SH meninggal yang mana konflik tersebut di motori oleh dua murid kesayangan Ki Ngabei Soero Diwiryo yang mengakibatkan pecahnya SH dan terbagi dalam 2 wilayah teritorial yaitu SH Winongo yang tetap berpusat di Desa Winongo dan SH Terate di Desa Pilangbangau Madiun.
Konflik kedua murid merambat sampai akar rumput sampai sekarang yang di penuhi rasa kebencian satu sama lain. Belum lagi konflik di perparah kepentingan politik dan perebutan basis ekonomi. Basis pendukung antar kedua perguruan di bedakan oleh perbedaan kelas juga. SH Winongo berkembang dalam alan perkotaan dan basis pendukungnya adalah para bangsawan atau priyayi sedangkan SH Teratai berkembang di wilayah pedesaan dan pinggiran kota. Perpecahan kedua perguruan tadi juga terletak dalam strategi pengembangan ideologi yang satu bersifat ekslusif sedangkan Hardjo Utomo ingin membangun SH yang lebih bisa diterima masyarakat bawah guna melestarikan perguruan.
Melihat dari latar belakang tersebut, konflik yang tejadi adalah konflik identitas yang mana kedua perguruan tersebut saling mengklaim kebenaran pembawa nilai ideologi SH yang orisinil dan menganggap dirinya yang paling baik dan benar. Klaim kebenaran terus menerus di reproduksi sehingga membentuk praktek–praktek diskursif yang saling meyalahkan satu sama lain.
Sumber repost : medioenblog
Tag:
PSHW winongo, sejarah winongo, pencak silat madiun winongo, logo winongo, guru besar winongo, SH Winongo, PSHT, Teratai, SH Teratai, madiun, sejarah, pencak silat